“iklan”
iklan

Melawan Agitasi, Menegakkan Kewarasan Berfikir dalam Isu Investasi Lingkungan

Ketua Sahabat Alam Jambi, Jefri Bintara Pardede. (Dok. Sahabat Alam Jambi)

KIATNEWS : Di tengah kompleksitas isu lingkungan dan pembangunan saat ini, publik membutuhkan pencerahan—bukan provokasi. Dibutuhkan pendekatan yang rasional dan objektif, bukan agitasi emosional yang menyulut kebencian dan kecurigaan. Maka sangat disayangkan ketika ruang publik kita justru tercemar oleh narasi-narasi sempit yang menyederhanakan persoalan seolah-olah semua bentuk investasi adalah musuh lingkungan, dan siapa pun yang tidak sepakat dengan pendapat tertentu dicap sebagai “pengkhianat.”

Hal ini terjadi dalam polemik seputar rencana pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) oleh PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi. Salah satu akademisi, Dr. Dedek Kusnadi, dalam sebuah pernyataannya kepada media, menyerukan penolakan total terhadap proyek ini. Lebih jauh, beliau menggunakan diksi yang mengandung unsur tuduhan dan stigma sosial dengan menyebut pihak-pihak yang mendukung investasi ini sebagai “londo ireng”—istilah pejoratif dengan konotasi historis kolonial yang mengarah pada pengkhianatan dan manipulasi.

Alih-alih membangun diskursus publik yang sehat, pernyataan seperti ini justru membahayakan ruang dialog. Ia merusak prinsip akademik itu sendiri, yang semestinya menjunjung tinggi nalar, objektivitas, dan etika.

Bacaan Lainnya

Antara Kepedulian dan Populisme Ekologis

Tak seorang pun menampik pentingnya kehati-hatian dalam menjaga lingkungan, apalagi jika proyek pembangunan berdekatan dengan sumber air baku masyarakat. Namun kehati-hatian tidak boleh berubah menjadi ketakutan irasional. Data, bukan asumsi, harus menjadi basis penilaian.

PT SAS, dalam hal ini, telah melalui tahapan yang diwajibkan oleh hukum: studi lingkungan, penyusunan dokumen AMDAL, serta mitigasi risiko. Dokumen-dokumen ini bukan sekadar formalitas, tetapi dapat diuji, dikritisi, dan diawasi pelaksanaannya.

Yang menjadi persoalan adalah ketika pihak-pihak tertentu membangun narasi yang mengesankan bahwa semua itu “pasti akan gagal”, dan bahwa perusahaan “pasti akan mencemari lingkungan”. Ini bukan lagi pandangan akademik, tetapi populisme ekologis yang berbasis pada ketakutan kolektif.

Apakah kita lupa bahwa negara ini dibangun di atas prinsip hukum dan mekanisme pengawasan? Bahwa kolaborasi antara masyarakat sipil, dunia usaha, dan pemerintah adalah fondasi dari pembangunan berkelanjutan?

Diksi “Londo Ireng” dan Kemunduran Etika Intelektual

Penggunaan istilah “londo ireng” sebagai cap terhadap akademisi, aktivis, atau siapa pun yang mendukung proyek investasi ini adalah bentuk kemunduran intelektual. Diksi ini bukan hanya tendensius, tetapi juga tidak layak diucapkan oleh seorang intelektual publik.

Penting untuk digarisbawahi: mendukung investasi tidak sama dengan tunduk pada kepentingan korporasi. Justru di situlah peran kita—untuk mengawal agar investasi yang hadir tetap berada dalam rel tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Kami, dari Perkumpulan Sahabat Alam Jambi, bukan bagian dari korporasi mana pun. Kami adalah masyarakat sipil yang mendorong pembangunan yang berimbang: yang memadukan perlindungan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Labelisasi seperti “londo ireng” adalah bentuk pembunuhan karakter yang tidak hanya merendahkan orang lain, tetapi juga mencemari marwah akademisi itu sendiri.

Rakyat Butuh Data, Bukan Dendam

Salah satu argumen yang sering dikemukakan oleh penolak proyek ini adalah bahwa rakyat akan bangkit melawan. Namun pertanyaannya: sudahkah dilakukan survei? Sudahkah didengar semua suara, termasuk dari masyarakat yang justru menginginkan akses pekerjaan, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan ekonomi?

Seringkali, “atas nama rakyat” hanya menjadi selubung untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu. Dalam konteks ini, penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa suara rakyat tidak diseret ke dalam konflik ideologis yang membingungkan dan menyesatkan.

Rakyat tidak butuh agitasi. Mereka butuh penjelasan yang jujur, data yang transparan, dan proses yang adil. Jika proyek ini memiliki risiko, maka mitigasinya harus ditegakkan. Jika ada pelanggaran, maka penegakan hukum harus diberlakukan. Tapi jangan bungkus semua itu dengan kebencian pada investasi, atau permusuhan terhadap siapa pun yang berpikir berbeda.

Menjaga Kewarasan Berpikir di Tengah Kebisingan

Isu lingkungan bukan hanya milik kelompok tertentu. Ia adalah tanggung jawab kolektif kita semua. Maka kita harus menyambut perbedaan pendapat sebagai peluang untuk memperkaya solusi—bukan memperlebar jurang kebencian.

Kewarasan berpikir adalah kemampuan untuk melihat persoalan secara utuh, menimbang resiko secara objektif, dan membangun solusi yang inklusif. Ini bukan soal siapa yang paling keras suaranya, tetapi siapa yang paling jujur dengan data dan niatnya.

Mendukung pembangunan yang bertanggung jawab bukan bentuk pengkhianatan terhadap lingkungan. Sebaliknya, itu adalah bentuk kematangan berpikir: bahwa keseimbangan bisa dicapai melalui kolaborasi, bukan konfrontasi.

Mari kita jaga agar ruang publik kita tetap sehat. Karena hanya dengan kewarasan berfikir, nalar, dan integritas, kita bisa menjaga Jambi ini tetap hijau—baik secara ekologis, maupun secara intelektual.

Kami percaya, bahwa pembangunan bisa berjalan beriringan dengan perlindungan lingkungan. Dan kami menolak anggapan bahwa siapa pun yang berusaha menjadi jembatan di antara keduanya adalah pengkhianat.

 

 

 

 

 


Oleh: Jefri Bintara Pardede
Penulis adalah Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *