KIATNEWS : KENDARI – Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan laut, masyarakat Bajau tentunya memiliki peran yang vital terhadap masa depan alam yang lestari. Tidak hanya menjadikan laut sebagai tempat hidup dan menggantungkan hidup melainkan juga laut sepatutnya dijadikan sebagai bagian dari diri mereka, agar timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian laut itu sendiri.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Irini Dewi Wanti mengatakan, deklarasi masyarakat Bajau dalam perlindungan dan pengelolaan cagar biosfer Wakatobi merupakan salah satu bentuk perhelatan yang mengangkat harkat dan martabat Suku Bajau di Wakatobi dan Suku Bajau dimanapun berada.
Selama ini, kata Irini, dirinya sangat sering menjumpai berbagai riset dan tulisan tentang Suku Bajau yang bagus dan beranekaragam, tetapi narasi – narasi tersebut tidak terimplementasi penerapannya pada masyarakat Bajau itu sendiri yang memiliki populasi sekitar 6 hingga 7 juta orang.
Sebagai contoh, ketika berkunjung ke perkampungan Bajau, mereka sebagai masyarakat nelayan atau maritim luar biasa keunikannya, karena memang di sanalah kehidupan mereka yang sebenarnya, tetapi ketika berbicara tentang sumbangsih terhadap keterlibatan dalam pembangunan seperti kurang tereksplorasi.
Berdasarkan pengalaman tersebut, lanjut Irini, perlu melakukan pelibatan Suku Bajau yang lebih baik lagi kedepannya, agar budaya yang dimiliki oleh mereka bisa menjadi kekuatan baru sekaligus nilai tambah bagi daerah tempat mereka bermukim. Contohnya, Wakatobi yang merupakan salah satu daerah cagar biosfer dalam menjaga aset tersebut sekaligus memancing riak – riak kepariwisataan.
Presiden Kerukunan Keluarga Bajau Indonesia, Abdul Manan sebagai perwakilan Suku Bajau juga mengatakan hal senada, bahwa deklarasi ini merupakan bentuk komitmen untuk mendukung dan ikut serta melestarikan sumber daya pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Wakatobi, sebagai salah satu cagar biosfer dunia.
Baginya, komitmen tersebut dengan tetap berlandaskan praktik – praktik kearifan lokal masyarakat Bajau Wakatobi selama ini yang berjumlah kurang lebih sekitar 20.000 jiwa, terbagi 2 lokasi inti yakni Bajau Mola di perairan Wangi – Wangi dan Bajau Sampela di perairan Kaledupa, dalam hal pemanfaatan sumber daya laut sekaligus menjaga kelestarian alam Wakatobi.
Selain itu, dengan adanya deklarasi ini, Ia menegaskan, bahwa Suku Bajau akan mengambil peran utama dalam kolaborasi multipihak atau hexahelix, dan masyarakat Bajau akan menempatkan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Sementara itu, Bupati Wakatobi, Haliana sangat mengapresiasi inisiasi pelaksanaan deklarasi oleh Kemdikbudristek yang mampu menggugah semangat kolaborasi antara masyarakat dan tokoh Bajau, semua pemangku kebijakan serta seluruh masyarakat di Kabupaten Wakatobi yang berjumlah 115.000 jiwa dan tersebar di 4 pulau besar yakni Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko untuk berkomitmen bersama maupun melahirkan rekomendasi untuk menjaga laut yang diharapkan menjadi komitmen bersama sejak hari deklarasi hingga seterusnya guna memberikan manfaat yang lebih panjang ke generasi – generasi berikutnya.
Meskipun demikian, berdasarkan laporan dan data terbaru, masih ada sekitar 2 persen masyarakat Wakatobi belum teradministrasi dan saat ini sedang diprogramkan agar bisa tercatat 100 persen.
Sebab, kata dia, mayoritas masyarakat Wakatobi menggantungkan hidup dari laut, maka dari itu, dengan menjaga laut, artinya masyarakat Bajau telah menyelamatkan warisan kekayaan alam yang akan bermanfaat bagi mereka kelak.
Parade 1.000 Perahu sebagai selebrasi masyarakat Bajau Mola Wakatobi
Parade 1.000 perahu terlebih dahulu dibuka dengan tradisi Sangal yakni bagi masyarakat Bajau merupakan tradisi memberi sedekah kepada laut karena telah diberikan harta dan rejeki yang begitu melimpah sehingga harus melepaskan sebagian hasil laut yang diperoleh kembali ke laut dengan cara melepaskannya dengan harapan bahwa akan diberikan balasan dengan hasil yang lebih melimpah lagi di kemudian hari.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Wakatobi, Nurdin mengungkapkan, secara sadar masyarakat Wakatobi hidup di laut dan membuktikan bahwa kehidupan laut itu harus diarungi dengan fasilitas yang memang arahnya ke laut.
“Parade 1.000 perahu ini adalah sebuah selebrasi sekaligus komitmen kami sebagai masyarakat Bajau, bahwa laut adalah hidup kami dan hal itu dibuktikan bahwa kami adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan,” ungkapnya.
Menurutnya, sebagian dari beberapa atraksi yang ditampilkan di atas perahu pada parade adalah sebuah bentuk nyata, bahwa masyarakat Bajau adalah orang yang patut dipercaya mengelola laut karena laut adalah anugerah dan tempat untuk mereka hidup.
Kemudian, melalui atraksi itu adalah satu bentuk hal yang ingin digambarkan kepada masyarakat Wakatobi secara keseluruhan, maupun tamu yang ikut menyaksikan, bahwa kegiatan serupa bukan hanya sekedar simbolis atau seremonial belaka, melainkan bentuk kebersamaan seperti konsep Suku Bajau yang disepakati bahwa “Sama” yaitu suku Sama dan itu melekat walaupun tersebar di wilayah yang berbeda – beda, tetapi bila menyangkut Suku Bajau maka mereka akan bersama – sama untuk melakukannya.
Adapun beberapa tradisi yang ditampilkan oleh masyarakat Bajau yang dilakukan di atas perahu nelayan Wakatobi, sebagai persembahan kepada semua masyarat maupun tamu yang datang menyaksikan parade tersebut ialah Tarian Duata, Tarian Pallibuang, Tarian Mbo Pumpiah, Musik Gambus Bajau dan Pertunjukan Liligo dan Iko Iko Sama, Pencak Silat, Tampilan gadis gadis Bajau yang memakai bedak pupur sambal melaut, Pongko atau tampilan keluarga Bajau yang sedang mencari hasil laut dalam waktu beberapa hari, tampilan Pendidikan anak Bajau dari Sikola Bajalan, Tampilan Gem bo Buayaang. (Adv)