KIATNEWS : JAKARTA – Aktivitas tambang nikel di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), telah menyebabkan pencemaran laut yang parah dan memicu pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terhadap suku Bajau dan Moronene yang tinggal di pulau tersebut.
Menurut laporan dari WALHI Sultra dan Satya Bumi, limbah tambang mengandung logam berat seperti nikel dan kadmium, yang mencemari laut dan menghancurkan terumbu karang.
Laut yang tercemar ini juga menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat setempat, terutama nelayan suku Bajau. Seorang nelayan Bajau, Anno, mengungkapkan bahwa pencemaran laut telah memaksanya untuk meninggalkan profesinya.
“Laut yang dulu memberi kami kehidupan sekarang tercemar. Saya pernah bekerja di tambang, tapi tidak dibayar selama empat bulan,” ujarnya.
Kerusakan lingkungan ini juga mempengaruhi tradisi menyelam yang dimiliki oleh suku Bajau, di mana pencemaran laut membuat anak-anak suku tersebut tidak lagi diajarkan menyelam. Hal ini berakibat tragis pada kematian tiga anak karena tidak bisa berenang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, menyoroti bahwa kerusakan lingkungan di Kabaena bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga memicu krisis sosial dan pelanggaran HAM.
“Banyak penduduk yang terpaksa bekerja di tambang dengan kondisi kerja yang buruk, tanpa jaminan kesehatan,” ungkapnya.
Lanjut, Andi juga mencatat bahwa pada tahun 2023, sebanyak 32 warga lokal dilaporkan terkait aksi protes terhadap tambang, dan dua di antaranya menjadi terdakwa.
“Perjuangan masyarakat yang menuntut keadilan lingkungan sering kali berakhir dengan kriminalisasi,” katanya.
Untuk itu, WALHI Sultra dan Satya Bumi mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan tambang seperti PT AHB dan PT TMS, serta meninjau ulang izin tambang yang dikeluarkan sebelum 2012, di tengah skandal korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Sultra, Nur Alam.