KIATNEWS : MUBAR – Pelaksanaan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Muna Barat (Mubar), Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ke- 9 tahun diwarnai dengan perkelahian kuda atau warga setempat menyebut Pogiraha Adhara.
Bagi warga setempat, perkelahian kuda merupakan salah satu atraksi budaya warisan para raja-raja yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Muna Barat dan Kabupaten Muna, Sultra, yang serumpun.
Tradisi adu kuda ini hanya satu-satunya di Indonesia, yang dalam bahasa lokal setempat disebut Pogiraha Adhara. Perkelahian kuda memiliki makna sebagai salah satu simbol harga diri yang harus dipertahankan, juga mengajarkan ketelatenan, eling, dan waspada menjalani proses kehidupan.
Perkelahian kuda atau adu kuda semacam itu sangat jarang digelar. Dahulu kala, tradisi ini biasanya diadakan dalam rangka penyambutan tamu-tamu kerajaan, hajatan besar tertentu, atau pada hari-hari tertentu seperti hari raya umat muslim.
Namun saat ini, budaya itu juga ditampilkan saat menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI, termasuk HUT Mubar sehingga menjadi sangat istimewa.
Biasanya, pertarungan kuda hanya untuk kuda-kuda jantan pilihan yang sudah besar dan terlatih dipandu oleh seorang pawang. Pada perayaan HUT Mubar kali ini, kuda yang di adu merupakan kuda pilihan milik La Ode Andi Boneka, kedua kuda jantan berwarna putih muda dan coklat tua keabu-abuan.
Pada HUT Mubar ini, Jurnalis KIATNEWS.ID berkesempatan melihat langsung perkelahian kuda. Saat atraksi itu berlangsung, pawang bertugas sebagai pemberi komando kepada para pemegang tali kekang masing-masing kuda untuk memisahkan kuda yang saling menggigit dengan cara menarik tali kekangnya.
Hal ini dimaksud untuk meminimalisir luka pada kuda aduan. Demikian halnya jika kuda sudah tidak lagi berkelahi, maka pawang akan menarik tali kekang masing-masing kuda.
Jika salah satu kuda terpojok oleh serangan lawan, pawang harus segera melerai untuk mencegah dampak fatal bagi kuda tersebut.
Keberadaan pawang juga vital dalam memastikan keselamatan penonton saat menyaksikan perkelahian. Maklum, pertunjukan ini selalu menyedot minat ratusan warga untuk datang. Apalagi, tidak ada batas pengaman yang memisahkan kuda dan penonton. Olehnya itu, jika ada kuda yang menyasar ke arah penonton, pawang mesti cepat mengendalikannya.
Terkadang bekal keahlian dan pengalaman pun tak sepenuhnya menjamin keselamatan pawang. Ada saja yang sial bahkan terkena sepakan kuda.
Adapun cara untuk membuat dua kuda jantan berkelahi adalah dengan memisahkan mereka dari betina masing-masing. Kuda-kuda itu lalu didekatkan ke kuda yang bukan pasangannya. Hal itulah yang akan menyulut kemarahan kuda.
Perkelahian pun dimulai, saat si putih meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sang penantang, kuda berkelir coklat tua, sigap meladeni dengan jurus serupa. Keduanya lalu bergelut bak jawara tinju kelas berat di atas ring.
Gigitan dan tendangan silih berganti melayang. Sesekali kuda yang bertarung saling menyeruduk dan menjulang, berupaya memojokkan lawan. Saat pertarungan mulai membahayakan salah satu pawang langsung melerai. Setelah susah payah dilerai, pertarungan kembali berlanjut.
Tidak ada istilah menang atau kalah dalam perkelahian kuda. Pawang menghentikan pertarungan jika dirasakan sudah cukup atau salah satu kuda menghindar.
“Pertarungan kuda ini hanya untuk hiburan masyarakat saja,” kata La Ode Andi Boneka.
Tak setiap saat perkelahian kuda bisa disaksikan. Dalam setahun, penyelenggaraannya bisa dihitung dengan jari. Itu pun biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat saat momen khusus.
“Sangat jarang perkelahian kuda saat ini, kecuali acara-acara seperti ini, itupun sekali setahun,” tambahnya.
Hal itu didasari karena populasi kuda di Muna Raya (Muna dan Muna Barat) kini hanya tersisa puluhan ekor yang sebagian besar berada di Kecamatan Lawa. Perkelahian kuda mulai menghilang tahun 1970-an bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memindahkan penduduk desa ke tempat baru berlahan gersang.
Menurutnya, kuda memiliki sejarah panjang dan kuat di Muna Barat dan Muna. Masyarakat di daerah ini telah mengenal hewan tangguh tersebut setidaknya sejak ratusan tahun silam. Hal itu dibuktikan dengan lukisan yang ditemukan di dinding goa-goa prasejarah di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Muna. Diantara berbagai lukisan di situs itu, ada yang menggambarkan kuda ataupun orang sedang menunggang kuda.
Pada masa kerajaan, kuda menjadi simbol prestise karena hanya dimiliki oleh kalangan tertentu, terutama bangsawan. Selain menjadi sarana transportasi, kuda juga digunakan untuk berburu atau berperang.
Selain Perkelahian Kuda, pada perayaan HUT Mubar Ke-9 ini juga ditampilkan silat Muna atau ewa wuna.
Silat ewa Wuna merupakan seni bela diri silat dengan teknik yang khas Kabupaten Muna. Silat ini menjadi bagian dari seni tari yang dikembangkan dari generasi ke generasi.
Ewa Wuna merupakan salah satu kekayaan budaya yang tidak hanya memiliki nilai-nilai historis melainkan juga terkandung spirit, kearifan lokal, bahkan sikap hidup.
Silat khas Muna ini memadukan antara gerakan seni dan bela diri. Dalam praktiknya, ewa Wuna dapat menggunakan senjata, berupa keris, parang, tombak, ataupun hanya tangan kosong.
Permainan ini diiringi oleh musik rambu Wuna. Seluruh pemain berusaha saling menyerang akan tetapi terhalang oleh seorang pemain petombi (pemegang bendera) sehingga seluruh pemain terhindar dari bahaya.
Dizaman dahulu Ewa Wuna telah dipelajari orang-orang tertentu sebagai pembelaan/ pertahanan kerajaan jika terjadi serangan dari luar. Pada saat ini ewa Wuna sudah populer sebagai tradisi yang dipertunjukkan saat ada pesta adat atau penyambutan tamu.***(Jf).